Biaya Rapid Test Mahal, Supir Truk Tujuan Nias Ancam Mogok
MediaNias.ID, Sibolga - Salah satu syarat disaat melakukan perjalanan kesuatu tujuan dinilai menyulitkan bagi supir expedisi.
Dalam hal ini, syarat surat keterangan PCR, atau rapid test yang wajib dikantongi oleh para supir expedisi.
Apalagi biaya yang dipatokkan pihak rumah sakit kepada mereka untuk sekali Rapid Test sebesar Rp 450.000.
Biaya tersebut, disebut dengan pengecekan secara mandiri, juga dibenarkan oleh Kadis Kesehatan Sibolga, Firmansyah Hulu, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (11/6) lalu.
Memang hal ini dinilai bagus, sebagai langkah antisipasi penyebaran Covid-19. Namun, dilain sisi, ketika menjadi suatu keharusan akan menjadi masalah baru.
Sebab, dalam pengambilan surat tersebut menimbulkan biaya baru yang tidak sedikit, sementara untuk mencari kebutuhan hidup saja masih sulit.
Salah seorang sopir expedisi tujuan Gunungsitoli misalnya, tidak diijinkan menyeberang apabila tidak mengantongi suket minimal rapid test tersebut.
Sebagaimana dialami, sopir Sejumlah truk asal Medan, Sumatera Utara, dengan tujuan Kepulauan Nias.
Mereka tertahan di Pelabuhan Sambas/Pelindo Sibolga, Sabtu (14/6).
Kebijakan ini, dinilai sopir expedisi menjadi turut menyusahkan masyarakat.
Pasalnya, para supir truk keberatan dengan kebijakan pihak otoritas Pelabuhan yang mengharuskan mereka mengantongi surat keterangan telah menjalani Rapid Test dari rumah sakit Sibolga.
Apalagi, wilayah Sibolga termasuk zona hijau, namun hal itu tetap tidak berlaku.
“Kami sudah satu hari satu malam menunggu disini. Karena biaya Rapid Test Rp 450 ribu per orang. Itupun berlaku hanya 7 hari saja. Kendala kami sekarang, khusus nya supir dari Medan, dituntut untuk Rapid Test. Sementara biaya kami gak ada, yang kami bawa barang logistic.” Ujar salah seorang supir mengaku bermarga Simatupang.
Mereka juga menuding pihak Pelabuhan mempersulit, dengan harus Rapid Test.
“Harus rapid test, disitu kami tidak terima. Sehingga kami tidak berangkat,” kata Pistel Simatupang. Salah seorang Supir Truk diamini puluhan Supir asal Medan lainnya.
Anehnya menurut Pistel, pada masa sebelum diberlakukannya New Normal oleh Pemerintah, mereka yang berasal dari daerah Zona merah hanya dibebani dengan surat keterangan kesehatan dari Rumah Sakit, Puskesmas atau Klinik.
Sekarang, setelah New Normal diberlakukan, Pemerintah seakan semakin mempersulit mereka dengan kewajiban Rapid Test.
“Sebelumnya, hanya surat kesehatan dari Puskesmas. Itupun hanya bayar Rp20 ribu. Baru kali ini diharuskan untuk Rapid Test. Kami gak keberatan kalau mau di Rapid Test. Silahkan kami di Rapid Test. Tapi, jangan bebani kami dengan biaya sebesar itu,” ketusnya.
Karena, biaya Rapid Test tersebut ditanggung sendiri oleh Supir, bukan Toke atau pengusaha Truk.
“Sementara biaya yang Rp 450 ribu itu ditanggung oleh Supir. Toke tidak mau tahu. Kalau toke mengatakan, biarkan saja mobil tidak jalan, kalau memang diwajibkan Rapid Test dengan biaya Rp450 ribu per orang,” ungkap Pistel.
Kalau kebijakan pihak otoritas Pelabuhan masih terus berlanjut, mereka mengancam akan mogok.
“Dan ada kemungkinan kalau memang berlanjut, truk ini akan mogok selama belum ada solusinya,” tegasnya. (R)
Dalam hal ini, syarat surat keterangan PCR, atau rapid test yang wajib dikantongi oleh para supir expedisi.
Apalagi biaya yang dipatokkan pihak rumah sakit kepada mereka untuk sekali Rapid Test sebesar Rp 450.000.
Biaya tersebut, disebut dengan pengecekan secara mandiri, juga dibenarkan oleh Kadis Kesehatan Sibolga, Firmansyah Hulu, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (11/6) lalu.
Memang hal ini dinilai bagus, sebagai langkah antisipasi penyebaran Covid-19. Namun, dilain sisi, ketika menjadi suatu keharusan akan menjadi masalah baru.
Sebab, dalam pengambilan surat tersebut menimbulkan biaya baru yang tidak sedikit, sementara untuk mencari kebutuhan hidup saja masih sulit.
Salah seorang sopir expedisi tujuan Gunungsitoli misalnya, tidak diijinkan menyeberang apabila tidak mengantongi suket minimal rapid test tersebut.
Sebagaimana dialami, sopir Sejumlah truk asal Medan, Sumatera Utara, dengan tujuan Kepulauan Nias.
Mereka tertahan di Pelabuhan Sambas/Pelindo Sibolga, Sabtu (14/6).
Kebijakan ini, dinilai sopir expedisi menjadi turut menyusahkan masyarakat.
Pasalnya, para supir truk keberatan dengan kebijakan pihak otoritas Pelabuhan yang mengharuskan mereka mengantongi surat keterangan telah menjalani Rapid Test dari rumah sakit Sibolga.
Apalagi, wilayah Sibolga termasuk zona hijau, namun hal itu tetap tidak berlaku.
“Kami sudah satu hari satu malam menunggu disini. Karena biaya Rapid Test Rp 450 ribu per orang. Itupun berlaku hanya 7 hari saja. Kendala kami sekarang, khusus nya supir dari Medan, dituntut untuk Rapid Test. Sementara biaya kami gak ada, yang kami bawa barang logistic.” Ujar salah seorang supir mengaku bermarga Simatupang.
Mereka juga menuding pihak Pelabuhan mempersulit, dengan harus Rapid Test.
“Harus rapid test, disitu kami tidak terima. Sehingga kami tidak berangkat,” kata Pistel Simatupang. Salah seorang Supir Truk diamini puluhan Supir asal Medan lainnya.
Anehnya menurut Pistel, pada masa sebelum diberlakukannya New Normal oleh Pemerintah, mereka yang berasal dari daerah Zona merah hanya dibebani dengan surat keterangan kesehatan dari Rumah Sakit, Puskesmas atau Klinik.
Sekarang, setelah New Normal diberlakukan, Pemerintah seakan semakin mempersulit mereka dengan kewajiban Rapid Test.
“Sebelumnya, hanya surat kesehatan dari Puskesmas. Itupun hanya bayar Rp20 ribu. Baru kali ini diharuskan untuk Rapid Test. Kami gak keberatan kalau mau di Rapid Test. Silahkan kami di Rapid Test. Tapi, jangan bebani kami dengan biaya sebesar itu,” ketusnya.
Karena, biaya Rapid Test tersebut ditanggung sendiri oleh Supir, bukan Toke atau pengusaha Truk.
“Sementara biaya yang Rp 450 ribu itu ditanggung oleh Supir. Toke tidak mau tahu. Kalau toke mengatakan, biarkan saja mobil tidak jalan, kalau memang diwajibkan Rapid Test dengan biaya Rp450 ribu per orang,” ungkap Pistel.
Kalau kebijakan pihak otoritas Pelabuhan masih terus berlanjut, mereka mengancam akan mogok.
“Dan ada kemungkinan kalau memang berlanjut, truk ini akan mogok selama belum ada solusinya,” tegasnya. (R)